MC, Jogja, Budaya dan Trio Kirik




Saya terkesima dalah suatu kesempatan yang sudah lama, dalam suatu acara tokoh sepuh seperti Perupa besar Joko Pekik dan penulis besar Alm Pramudya A Toer duduk berdekatan di kurisu undangan.
Samuel Indratma sebagai MC melakukan penghormatan kepada beliau sehingga lampu sorot ke mereka berdua. Samuel dengan mengatakan,"Para hadirin....duduk di pojok itu, para legenda Indonesia....dan mereka adalah...Peeee Kaaa Iiiiiiiii!"
Grrrrrrrrr.....semua hadirin tertawa dengan ucapan MC yang membully tokoh senior tersebut. Tidak ada sakit hati dan tidak ada rasa negatif kecuali keceriaan dalam acara. PKI atau tidak itu adalah masalah politik dan saya tidak suka politik, tetapi di Jogja semua dapat dikemas menjadi hal menarik.
Jogja.......tempat eksotis penuh budaya, 26 September 1959 Jogja sebutan keren Yogyakarta resmi menjadi provinsi daerah istimewa. Sebelumnya 3 Maret 1950 Jogja sudah resmi tetapi untuk aturan resmi Daerah Istimewa baru 6 bulan sesudahnya. Seberapa istimewanya?
Jika memasuki ranah politik jelas Jogja adalah kerajaan dan saya tidak mungkin menulis hal itu. Istimewa bagi saya adalah atmosfer budayanya. Kental dengan budaya jawa tetapi sangat terbuka dengan budaya luar. Budaya memang aspek tertinggi di kehidupan. Tempat ini memberikan atmosfer untuk pada semua orang untuk menempa diri dengan aspek tertinggi ini.
Budayawan besar seperti Emha Ainun Najib, Nasiroen, Putu Sutawijaya....bukan dari Jogja tetapi memilih tempat ini. Saya rasa karena atmosfer mendukung untuk terus menempa diri dengan atmosfer budaya.
Sekarang saya sedang meniti karir sebagai seorang penulis dan MC. Penulis saya lakukan setiap saat bahkan di jalan pun saya selalu menulis menggunakan ponsel pintar saya. Sedangkan MC saya masih di tingkat kabupaten dan saya berusaha untuk terus belajar untuk mengembangkan potensi diri sebagai MC.
Salah satunya saya sering ke Jogja untuk menghadiri acara-acara budaya. Hanya di Jogja saya menjumpai MC dengan gaya norak, lelucon cerdas tidak ada umpatan tidak ada lelucon pornografi, lelucon merendahkan fisik dan lainnya tetapi membuat suasana sangat hidup, itulah Trio Kirik. Trio aneh yang terdiri dari Samuel Indratma, Yuswantoro Adi dan Bambang Heras.
MC mukan MC karena berasal dari latar belakang berbeda bukan dari latar belakang selebritis atau penyiar yang kita lihat di TV. Dalam membawakan acara selalu runtut dengan kesegaran lelucon cerdas bahkan cenderung membully semua orang.
Pernah dalam suatu kesempatan, saya menyaksikan saat Bambang Heras membully orang paling berpengaruh di Jogja....Sri Sultan Hamengkubuwono X. "Saya selalu memperhatikan....yang datang terlambat pasti Pak Sri ( sapaan Trio Kirik ke Raja Jogja ini)." Ucap Bambang Heras saat Sri SUltan datang pada suatu acara. Seperti biasa para hadirin tertawa dan Sri Sultan tidak tersinggung malah ikut tertawa.
Dunia yang juga saya tekuni dan saya pelajari adalah MC, dimana saya berusaha untuk belajar menyambut hadirin, menyapa pembicara mengenali tema, menyampaikan humor, menyampaikan susunan acara, memperkenalkan pembicara menyimak. mencatat, memberikan kesan santai-rileks hingga menutup acara.
Yang paling saya kagumi adalah humor. Humor Trio Kirik ini sangat segar, lugas dan cenderung kasar tetapi cerdas.....walaupun tidak ada cemoohan melecehkan fisik, tetapi mungkin di tempat saya orang akan tersinggung jika dikatakan "Peee Kaaaa Iiiii" di suatu acara dan yang dituju adalah orang yang sangat senior dan sangat sepuh. Tidak demikian di Jogja.
Tempat eksotis dengan kecerdasan berbudaya memang sangat toleran. Saya rasa tidak mungkin saya melontarkan humor seperti itu di tempat saya, bisa-bisa saya tidak laku menjadi MC. Jadi, berbudaya pasti akan sangat beradab untuk dapat menerima hal baru yang kita anggap asing. Dapat menyatu dengan semua kalangan dan terutama dapat berkembang menuju kebijaksanaan.
Saya sebagai praktisi dunia MC melihat Trio Kirik dalam memandu acara sangat mewakili atmosfer Jogja yang selalu terjaga atmosfer budayanya. Jika dalam keadaan berbudaya manusia akan beradab dan tidak mudah tersinggung, marah dan terkena energi negatif lainnya.
Jadi ingat pengajian KH Agus Sunyoto dari Lesbumi yang mengatakan jaman dulu era keemasan Majapahit, semua budaya nusantara terakomodir karena negara bawahan Majapahit diakomodir untuk mengembangkan kearifan lokalnya sendiri-sendiri karena Majapahit untuk menjadi besar dapat menerima semua budaya.
Sepertinya, cerita KH Agus tersebut saat ini diwakili oleh Jogja. Semoga di semua tempat akan seperti Jogja dalam berbudaya, dan saya seperti biasa akan menghiasi tulisan ini dengan foto-saya di Jogja yang Istimewa dalam berbudaya. (firitri)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fotonya Bagus Semua yah si Penulis Mojokerto ini, Tapi Risikonya?

RIYOYO KUPAT MOJOKERTO