Puri, Sungai dan Kehidupan.


Kembali ke tanah tumpah darah saya, Puri. Puri adalah wilayah di Kabupaten Mojokerto yang banyak dilewati sungai. Bencana. Itu yang biasa terbersit di pikiran orang saat ini. Sungai adalah bencana. Jumlah sungai berbanding lurus dengan bencana.
Puri, tercatat ada lima belas sungai yang melewati wilayah ini.
1. Afvour/Kali Cemporat
2. Kali Kintelan
3. Sekunder Kedungpring
4. Sekunder Ngrayung
5. Sekunder Pohkecik
6. Sekunder Ketintang B
7. Sekunder Ketintang C1
8. Sekunder Ketintang C2
9. Saluran Sumber Sambikuning
10. Saluran Sumber Kates
11. Saluran Sumber Karang Tengah
12. Saluran Primer Pehngaron
13. Saluran Sekunder Pehngaron
14. Saluran Sekunder Tirim Kidul
15. Saluran Sekunder Tampung
Bencana? Sering. Karena memang stigmanya seperti itu. Ahli sungai di Indonesia Agus Maryono selalu mengatakan Sungai adalah Ibu kita. Ibu yang menghidupi kita. Jika Ibu kita sekarat karena ulah kita maka kita juga bersiap dengan kehidupan yang akan susah.
Jadi, bersyukur Puri dilewati banyak sungai. Sungai adalah Ibu yang memjaga kehidupan kita dengan air tawar. Jika 97% air di bumi adalah air asin, tugas manusia adalah menahan air tawar yang berjumlah 2% di darat selama-lamanya tetapi tidak menimbulkan bencana.
Itulah sejak jaman Airlangga, Majapahit, Mataram Islam tercatat sungai selalu lestari karena budaya saat itu sungai adalah hal suci. Setelah era kolonial, sungai menjadi tempat raksasa membuang limbah, kotoran dan sampah. Eropa yang dulu seperti itu, sekarang sudah meninggalkan budaya mengotori sungai. Sedangkan kita masih meniru budaya kolonial itu. London dengan sistem Waste Water Treatment Plant (WWTP) terpadu yang mengolah limbah domestik penduduk dengan Methane Upflow Reactor merubah limbah menjadi gas metana sepertinya membuat kita kagum. Waow, Limbah rumah tangga seluruh kota dapat dinetralkan dan menjadi sumber energi.
Kenyataannya mereka gagal dan saat ini sedang menggali kearifan lokal kita. Reaktor raksasa di london tersebut memang menghasilkan energi dan menjadikan limbah domestik sebagai pupuk dan air bersih, tetapi sangat boros energi listrik. Boros energi listrik berarti boros uang dan menimbulkan pencemaran lingkungan lainnya berupa emisi pembakaran. Karena itulah banyak pakar air eropah yang melakukan penelitian di Indonesia, untuk mengetahui bagaimana nenek moyang kita mengelola air.
Kita masih berkutat dengan budaya kolonial yang mengotori sungai dan sudah kita lalui ratusan tahun dengan berbagai mitos baru juga. Merubahnya tidak secepat kilat perlu waktu. Buang air di sungai saja kita membutuhkan 3 generasi untuk berubah.
Jadi, kita harus seperti apa? Pemerintah harus seperti apa? Jawabannya jelas kita semua sebagai pemangku kepentingan sungai. Pemerintah sudah gencar melakukan berbagai perencanaan hingga tindakan. Dukungan masyarakat adalah kunci. Masalah utama ada di masyarakat yang masih belum mendapatkan pengetahuan tentang sungai.
Hanya segelintir yang tahu apa itu sempadan, apa itu bantaran, Bagaimana menyikapi COD, BOD dan lainnya. Masalah membuang sampah di sungai juga masih menjadi hal yang utama. Masyarakat menganggap sampah adalah hal murah jadi harus dibuang di manapun.
Pada negara maju, masyarakat sudah sangat paham tentang sungai karena kurikulum sekolah berkali-kali mengulang masalah sungai. Bantaran, Sempadan, Biota sungai, COD, BOD dan lainnya. Sampah adalah hal mahal karena jika membuang sembarangan akan terkena denda sangat mahal sehingga lebih ekonomis jika mengelola sampah dengan benar. Hal ini yang tidak terdapat di tempat kita. Pemerintah tidak dapat bertindak karena tidak ada aturan baku tentang kurikulum pendidikan sungai sehingga pengetahuan masyarakat masih berputar di hal itu-itu saja. Pemerintah tidak dapat berbuat banyak karena tidak ada peraturan daerah tentang sampah yang ketat.
Dengan keadaan demikian memang cepat atau lambat masyarakat akan lebih cerdas berkat informasi yang sudah banyak tersyi'ar di media saat ini, tetapi perubahan tidak akan cepat jika tidak ada kurikulum yang terstruktur. Sungai yang perumpamaannya Ibu kita akan sekarat dan kita akan menanggung ancaman bencana.
Marilah kita paling tidak bermimpi berwisata di sungai bersih, melihat anak-anak bermain di air jernih, makan ikan endemik sungai kita yang terkenal sangat gurih.
Jadi terngiang lagu Ibu Sud
"Sungguh Indah Kampung Halamanku......di kaki gunung yang biru....di mana air mengalir, airnya jernih berdesir desir"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Fotonya Bagus Semua yah si Penulis Mojokerto ini, Tapi Risikonya?

RIYOYO KUPAT MOJOKERTO